Arsip Blog

Pages

Diberdayakan oleh Blogger.
Home » , » Golkar kerja keras naikkan elektabilitasnya bersama Ical

Golkar kerja keras naikkan elektabilitasnya bersama Ical

Amran Nasution
Berbagai survei menunjukkan elektabilitas Golkar menurun dan selalu kalah dari PDIP. Betulkah itu dampak kepemimpinan Aburizal Bakrie?
Banyak kader Golkar – terutama di daerah -- yang miris melihat kondisi dan keberadaan Partai Golkar pimpinan Ketua Umum Aburizal Bakrie alias Ical. Padahal rapat Pimpinan (Rapim) Golkar 2 tahun lalu memutuskan Aburizal Bakrie menjadi Calon Presiden dari Partai Golkar dalam Pemilu 2014.

Kenyataannya hampir semua survei memperlihatkan elektabilitas Ical sebagai Calon Presiden amat rendah. Dengan elektabilitas itu mustahil Ical terpilih. Malah iklan atau reklame tentang sosok Aburizal Bakrie yang bertubi-tubi setiap hari ditampilkan di TV-One dan AN-TV – stasiun TV milik keluarga Ical – tak mampu meningkatkan elektabilitas Ketua Umum Partai Golkar itu secara signifikan.

Yang amat merepotkan, rendahnya elektabilitas Aburizal Bakrie sebagai Calon Presiden, pada gilirannya merepotkan Golkar sendiri. Itu terlihat jelas dari menurunnya elektabilitas Golkar sebagai partai politik peserta Pemilu 2014 di hampir semua survei. Padahal sebelumnya Golkar selalu jadi pemuncak, mengungguli PDIP di posisi kedua.

Dalam kasus ini jelas bahwa rendahnya elektabilitas Ical mempengaruhi dan menyebabkan turunnya elektabilitas Golkar. Itu gampang dijelaskan. Berbagai data memperlihatkan elektabilitas partai politik memang amat tergantung tokoh partai.

Kalau hasil berbagai survei itu jadi kenyataan tentu sangat merugikan Golkar dan para kadernya yang jadi calon anggota DPR-RI atau DPRD di berbagai daerah. Penurunan suara Golkar sama artinya penurunan suara Caleg. Artinya, banyak di antara Caleg Golkar kelak tak terpilih sebagai anggota DPR atau DPRD.

Seakan kesialan terus menguber Aburizal Bakrie dan Golkar, Jumat, 20 Desember 2013, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah. Atut tak lain Ketua Bidang Permberdayaan Perempuan DPP Golkar, selain salah satu teman dekat Aburizal Bakrie. 

Politikus senior Partai Golkar, Zainal Bintang, menilai penetapan  Ratu Atut Chosiyah sebagai tersangka merupakan pukulan telak bagi partainya. Menurut dia, Banten adalah  satu-satunya provinsi di Pulau Jawa yang kepala daerahnya dipegang Gubernur dari partai pohon beringin itu. "Tak ada kader kami yang menang di pemilihan gubernur lain di Jawa kecuali Banten," kata Zainal kepada wartawan. Memang di Pulau Jawa, Golkar hanya menguasai Banten. Gubernur DKI Jakarta dari PDIP, Jawa Barat dari PKS, Jawa Tengah dari PDIP, Jawa Timur dari Partai Demokrat, dan Gubernur DI Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono telah keluar dari Partai Golkar.

Maka kasus yang menjerat Atut, menurut Zainal, berpotensi melemahkan Golkar dalam Pemilihan Umum 2014. Sangat mungkin, kata dia, pemilih Golkar berpindah ke partai lain. "Bagaimana pun, Banten menjadi lumbung suara Golkar," ujar Zainal Bintang yang Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong (MKGR), salah satu organisasi pendiri Golkar.

KPK menetapkan Atut sebagai tersangka dalam perkara suap bekas Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar. Adik Atut, Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan, awal Oktober lalu ditangkap dan ditahan KPK terlebih dulu, setelah  ditetapkan sebagai tersangka untuk kasus serupa. Selain kasus ini, oleh KPK Atut dijadikan tersangka perkara pengadaan alat kesehatan (Alkes) di Banten.

UTANGNYA TERBESAR


Semua itu menambah saja berita buruk untuk sang Ketua Umum Golkar Aburizal Bakrie. Terpuruknya elektabilitas Ical memang sangat jelas disebabkan berbagai masalah, tapi salah satu yang terpenting adalah terjadinya semburan lumpur Lapindo di Sidoardjo, Jawa Timur, sejak tahun 2006 sampai sekarang. Semburan lumpur panas itu berdampak sangat mengerikan: menghanyutkan sawah dan rumah penduduk. Ribuan orang menjadi korban.

Ketika itu PT Lapindo Brantas milik keluarga Ical melakukan pengeboran sumur Banjar Panji-1 untuk mencari gas.  Diperkirakan sejak awal dimulai pengeboran ini, PT Lapindo Brantas melakukan berbagai kesalahan, terutama untuk keperluan menghemat biaya.

Akibatnya fatal. Terjadi semburan liar lumpur panas yang menenggelamkan persawahan dan rumah tinggal ribuan penduduk di kawasan itu. Kemarahan penduduk korban semburan lumpur panas Lapindo Brantas tampaknya menyulitkan eksistensi Aburizal Bakrie sebagai politisi.

Tapi masalah Ical bukan hanya Lapindo. Sebagai salah seorang konglomerat Indonesia, bisnis keluarga Bakrie belakangan ini bermasalah. Membaiknya ekonomi Amerika Serikat, menyebabkan mata uang Dollar menguat terhadap rupiah. Bagi PT Bakrie & Brothers TBK (BNBR) dan semua perusahaan Ical lainnya, hal itu menjadi mimpi buruk. Betapa tidak?

Depresiasi nilai tukar Rupiah terhadap Dollar Amerika Serikat mengakibatkan utang luar negeri PT BNBR melonjak. ‘’Utang jangka panjang dan pendek naik dari Rp 5,7 trilyun ke Rp 6,7 trilyun karena depresiasi rupiah,’’ kata Bobby Gafur, Presiden Direktur BNBR, dalam paparan publik 2014 di Bakrie Tower, Epicentrum, Kuningan, Jakarta Selatan, November lalu. 

Menurut Gafur, mayoritas utang perseroan (PT BNBR) berada dalam posisi dollar Amerika Serikat. Awal tahun 2013, dollar Amerika Serikat masih berada pada kisaran Rp 9500. Di kuartal ketiga tahun itu nilai dollar melonjak mencapai Rp 12.200.    "Kenaikan utang terjadi akibat pelemahan rupiah dari dolar.  Maka dari itu rasio utang tercatat kenaikan," kata Gafur.

Paparan di atas hanya menyangkut salah satu perusahaan Bakrie. Tim Lindsey, Direktur Pusat Pengkajian Hukum Indonesia, Islam, dan Masyarakat, di Melbourne University, Australia, dalam wawancara dengan koran The Australian beberapa waktu lalu, mengatakan bahwa perusahaan-perusahaan yang dikomandokan Aburizaral Bakrie (putra tertua keluarga Bakrie) memang memiliki utang sangat besar.

Saat ini menurut estimasi para analis, 10 perusahaan yang terafiliasi dalam Group Bakrie memiliki utang lebih 7 milyar dollar atau dengan kurs sekarang lebih Rp 85 trilyun. Jumlah utang itu tambah menggunung karena melemahnya terus kurs Rupiah terhadap Dollar. Padahal utang Bakrie kepada para kreditor luar negeri umumnya dalam Dollar Amerika Serikat. Sekarang Bakrie adalah perusahaan dengan utang terbesar di Indonesia.

Sementara itu menurut estimasi majalah dua mingguan dari Amerika, Forbes, seluruh perusahaan di bawah Group Bakrie sekarang hanya memiliki aset senilai 1 milyar dollar (lihat Forbes 10 Desember 2012). Dalam kondisi seperti itulah, menurut Forbes, Aburizal Bakrie terlempar dari daftar 40 orang terkaya Indonesia. Padahal selama ini Ical selalu berada dalam daftar 10 orang Indonesia terkaya.

Bakrie muncul sebagai grup perusahaan yang diperhitungkan sejak zaman Orde Baru. Ketika itu, Bakrie mendapat berbagai “kemudahan” dari rezim untuk membuatnya berdiri kukuh sebagai perusahaan pribumi (yang langka) di tengah dominasi pebisnis nonpribumi yang tumbuh menjamur.

Dalam krisis moneter 1997-1998, sebagaimana banyak perusahaan lain di Indonesia, Bakrie pun ambruk. Tapi pelan-pelan dia bangkit kembali. Pada Pemilu 2004, Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang didukung keluarga Bakrie terpilih menjadi Presiden. Peristiwa politik ini mengubah nasib keluarga Bakrie dan perusahaannya.

Aburizal Bakrie diangkat menjadi menteri. Momentum ini  membuat perusahaan Group Bakrie kembali pulih. Di negara berkembang umumnya memang politik dan bisnis saling terkait. Gejala seperti itu lebih-lebih terjadi di Indonesia. Di sinilah letak kunci keberhasilan Bakrie selama ini.

Menurut Profesor Tim Lindsey, pengamat dari Melbourne University itu, Bakrie selalu menggabungkan bisnis dan politik. Bisnisnya mendukung karir Aburizal Bakrie sebagai Ketua Umum Partai Golkar yang sekarang menjadi salah satu partai terkuat di Indonesia. Sebaliknya, karir politik Aburizal Bakrie sebagai Ketua Umum Partai Golkar dimanfaatkan untuk mendukung bisnis keluarga Bakrie.

Tapi dalam kondisi bisnis keluarga Bakrie terpuruk, terutama karena utang yang menumpuk, operasi-operasi politik Ketua Umum Partai Golkar itu terganggu. Apalagi yang paling merepotkan ternyata sejumlah janji yang diumbar Ical baik dalam kampanye untuk menjadi Ketua Umum Golkar mau pun setelah terpilih, sampai sekarang belum direalisasikan.

Misalnya janji Ical akan membangun gedung DPP Golkar 25 lantai yang diucapkannya secara terbuka pada waktu mencalonkan diri sebagai Ketua Umum Golkar dan diliput media secara luas. Kemudian janji Ical akan menyediakan Dana Abadi senilai Rp 1 trilyun untuk DPP Partai Golkar yang sampai sekarang tak pernah direalisasikan.

Oleh karena itu wajar kalau muncul cukup banyak dorongan dari daerah, bahkan dari fraksi, yang menginginkan pencalonan Ical sebagai Presiden  dalam Pemilu 2014 oleh Partai Golkar dievaluasi kembali. Permintaan evaluasi itu sudah menjadi suara silent majority di Partai Golkar, termasuk di fraksi.

GOLKAR JADI KORBAN
   
Akbar Tanjung selaku pimpinan Golkar yang sering mengunjungi kader di daerah juga mendengar  banyak keluhan tentang kepemimpinan Ical sebagai Ketua Umum. Keluhan tersebut menyangkut dana bantuan untuk DPD yang dulu dijanjikan Ical. Semua ini tentu berhubungan dengan kesulitan keuangan  yang menimpa perusahaan Aburizal Bakrie.

Bulan Maret 2013, misalnya, sempat terjadi kehebohan di lantai bursa Jakarta, ketika penjualan saham PT Bakrieland Development (perusahaan properti yang menjadi salah satu andalan Bakrie) harus distop (suspended) karena gagal menebus obligasi 29 juta dollar yang jatuh tempo (lihat Reuters 11 Maret 2013).

Bakrieland kemudian terpaksa menyerahkan proyek jalan tolnya ditambah proyek properti Lido Lake Resort -- semua berada di Jawa -- kepada MNC Group milik pengusaha Harry Tanoesudibjo. Soalnya, Bakrieland tak mampu membayar utang sebesar 200 juta dollar yang harus dilunasi tahun itu. Secara keseluruhan PT Bakrieland Development mempunyai utang kepada para kreditor senilai Rp 4,6 trilyun (475 juta dollar).

Perusahaan Bakrie yang lain, PT Bakrie Sumatera Plantation, yang mengusahakan perkebunan kelapa sawit di Sumatera, telah melego 16.000 ha kebunnya kepada ”raja kelapa sawit Indonesia” Sinar Mas. Bakrie Sumatera Plantation yang memiliki 100.000 ha perkebunan kelapa sawit itu secara keseluruhan memiliki utang Rp 6,3 trilyun.

Perusahaan andalan Bakrie, PT Bumi Resources, eksportir batubara terbesar dunia itu, memiliki utang menggunung, yaitu sekitar 4 milyar dollar, sekitar Rp 50 trilyun. Pembayaran utang itu diduga kuat akan bermasalah. Soalnya, Standard & Poor, perusahaan pembuat rating dari Amerika itu  pada 5 Agustus 2013 menurunkan rating kredit jangka panjang Bumi Resources dari B minus (B-) menjadi CCC (triple C). Penurunan itu berakibat meningkatnya ongkos uang yang digunakan.

Para pengamat melihat Ical sekarang mati-matian mempromosikan pencalonannya menjadi Presiden dari Partai Golkar dalam Pemilu 2014. Berdasar deskripsi di atas, memang sangat masuk akal jalur politik dengan menjadi calon Presiden adalah jalan keluar satu-satunya bagi Ical atau perusahaannya.

Maka melalui perusahaannya sendiri, TV-One dan AN-TV, Ical  dengan gencar dikampanyekan sebagai calon Presiden 2014. Oleh karena itulah Ical mepertahankan untuk tak menjual group perusahaan medianya Viva (terdiri dari TV-One, AN-TV, dan portal berita Vivanews). Media itu dia butuhkan untuk menyukseskan gerakan dan langkah politiknya.

Jalur politik yang ditempuh Ical di tengah suramnya bisnis keluarga Bakrie tampaknya merupakan langkah yang sudah diperhitungkan. Dengan Ical menjadi menteri di tahun 2004 dalam kabinet Presiden SBY, keluarga Bakrie berhasil menyelesaikan problem utang perusahaan yang menggunung sebagai akibat krisis 1998. Apalagi kalau nanti Aburizal Bakrie bisa terpilih menjadi Presiden atau Wakil Presiden dalam Pemilu 2014.

Kalau pun Ical sulit terpilih jadi Presiden atau Wakil Presiden, setidaknya melalui Golkar Ical bisa terlibat dalam pemerintahan masa datang. Dia bisa menjadi menteri dan semacamnya. Toh sudah terbukti dengan jabatan menteri dalam kabinet SBY di tahun 2004, keluarga Bakrie sukses melunasi utang perusahaan yang begitu besar.

Tapi Golkar yang akan jadi korban. Sebagai partai, sebelumnya hampir semua pengamat dan survei meramalkan Golkar akan jadi pemenang Pemilu 2014. Tapi setelah menjadikan sang Ketua Umum Ical sebagai calon presiden dan mengkampanyekannya dengan gencar, Golkar menanggung beban yang sangat berat. Golkar berjalan tertatih-tatih.

Berbagai survei yang dulu selalu menempatkan Golkar di posisi nomor 1, kini meramalkan Golkar akan melorot jadi pemenang nomor 2 bahkan nomor 3. Dalam Rekernas baru-baru ini, PDIP menetapkan target perolehan suara hanya 27,2%, sementara Ketua Umum Golkar Aburizal Bakrie dan Sekjen Idrus Marham mentargetkan Golkar meraih suara 30% sampai 35%. Target yang tak mungkin dicapai kalau Golkar terus seperti sekarang.

Survei yang dilakukan harian KOMPAS dan disiarkan koran itu 27 Agustus 2013, menunjukkan betapa Golkar terseok-seok. Menurut survei itu, Desember 2012, Golkar dipilih 15,4%  pemilih dan kemudian naik sangat tipis menjadi hanya 16% pada Juni 2013. Bandingkan dengan PDIP yang Desember 2012 hanya dipilih 13,3% pemilih (artinya di bawah Golkar), melonjak menjadi 23,6%  (pemenang Pemilu) pada Juni 2013. Atau Gerindra yang pada Desember hanya 6,7% meloncat dua kali menjadi 13,6% dalam tempo 6 bulan berselang. Kalau kecendrungan ini terus berlanjut Gerindra dipastikan akan menyalib Golkar dalam Pemilu 2014. Dan itu adalah malapetaka.

Menurut analisis KOMPAS seorang tokoh amat berperan dalam meningkatkan elektabilitas sebuah partai. Dengan gampang kelihatan bahwa melonjaknya suara PDIP karena ketokohan Jokowi atau Gerindra karena Prabowo Subianto. Dengan argumen serupa bisa ditebak lesunya Partai Golkar sekarang tentulah karena peran dan citra Aburizal Bakrie jelek di mata publik.

Sekarang apakah Golkar akan terus mencalonkan Aburizal Bakrie sebagai Presiden 2014 dengan risiko suara Golkar akan terpuruk atau meninjau pencalonan itu? Semua terserah kepada para petinggi Partai Golkar di pusat dan daerah. Merekalah yang dirugikan ketika suara Golkar terpuruk dalam Pemilu 2014 nanti.

0 komentar:

Posting Komentar